Akhir tahun 2013 merupakan hal yang paling mengesankan bagi masyarakat perdesaan . Bisa jadi, ini adalah hari
termanis bagi proses pembangunan Indonesia. RUU Desa yang selama
beberapa tahun belum jelas pembahasannya, akhirnya disahkan
menjadi Undang-Undang. Ini merupakan tonggak baru bagi sebuah negara
dengan sistem pembangunan bottom-up, yang sebelumnya pembangunan menganut sistem up-bottom.
Ada beberapa hal yang menarik tentang UU Desa ini, dilihat dari isi, prosesnya, serta efek sosial politiknya kedepan.Kaitannya dengan UU Desa, saya berusaha menempatkan diri sebagai
masyarakat yang tinggal di pelosok pedesaan yang dalam UU ini dijadikan
sebagai objek utamanya.
Sehubungan dengan hal tersebut dalam hal realisasi di lapangan, UU Desa juga mengamanatkan harus
dilakukan melalui Musyawarah Rencana Pembangunan Desa (Musrenbang Desa).
Masalahnya kemudian, apakah musrenbang ini cukup efektif untuk membuat
rencana kerja selama setahun mengingat SDM berkualitas yang sangat
terbatas di pedesaan. Pengalaman selama ini, Musrenbang hanya menjadi
sebuah forum formal untuk pengesahan saja. Rencana-rencana yang diajukan
semuanya dibuat oleh beberapa orang saja, itupun ketika ditawarkan di
forum, masyarakat maupun perwakilan yang hadir, hanya memberi label
persetujuan saja tanpa diskusi maupun mengkritisinya. Tentunya ini
menjadi sesuatu yang kurang baik dalam proses pembangunan.
Keikutsertaan masyarakat dalam menggali rencana pembangunan mutlak
dibutuhkan agar pembangunan bisa selaras dengan apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat, dan pas mengenai sasaran.
Beranjak ke permasalahan berikutnya, solusi yang bisa kita tarik adalah
adanya seorang fasilitator di setiap desa. Fasilitator ini fungsinya
sebagai akselarator lembaga-lembaga yang ada di desa maupun
proses-proses yang ada di dalamnya. Inisiator UU Desa sudah sering
memberikan pernyataannya bahwa kedepan memang akan ada fasilitator di
tiap desa dan ini rencananya akan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah.
Peraturan pemerintah 43 tahun 2014 pada Paragraf 2 pasal 128 ayat 2 menegaskan pendamping masyarakat desa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 secara teknis dilakukan oleh SKPD dibantu oleh pendamping profesional , Kader Pemberdayaan masyarakat desa atau pihak ketiga. Namun lebih jelas lagi pada pasal 129 ayat 2 Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus memiliki sertifikasi kompetensi dan kualifikasi pendampingan di bidang ekonomi, sosial, budaya atau teknik.
Namun secara rinci , tidak dijelaskan secara rinci bagaimana
proses rekrutmen fasilitator ini, masih dalam pembahasan apakah mereka ini adalah staff
kementerian dari pusat atau fasilitator independen yang selama ini ada
di program PNPM. Saya melihat apabila fasilitator ini berasal dari
pusat, maka tentu akan ada banyak uang yang dikeluarkan. Jalan keluar
alternatif yang bisa dipakai adalah memanfaatkan Fasilitator fasilitator yang ada di daerah melalui program PNPM Mandiri Perdesaan . Tentu akan ada banyak manfaatnya jika melibatkan fasilitator PNPM - Mandiri Perdesaan selain sudah terbiasa dengan urusan desa , perencanaan partisipatif juga sudah hampir sebagian mengikuti proses sertifikasi yang dilaksanakan oleh Lembaga sertifikasi Profesi .
Khusus untuk provinsi sulawesi tenggara proses sertifikasi sudah memasuki angkatan kelima yang berlangsung pada tanggal 20 - 21 september 2014 bertempat di Bapelkes Kendari dengan jumlah peserta 30 orang , Provinsi Sulawesi tenggara sudah mencetak 130 orang Fasilitator yang berkompetensi , proses sertifikasi yang terdiri dari unsur PNPM Mandiri perdesaan sebanyak 122 Orang, PNPM Mandiri Perkotaan 7 orang, NGO 1 orang . Sertifikasi pertama gongnya dimulai pada tanggal 1 - 2 Desember 2013 bertempat Ujian Kompetensi Universitas Haluoleo, namun untuk angkatan kelima Assosiasi IPPMI yang diketuai oleh La Ode Syahruddin Kaeba menunjuk Bapelkes sebagai TUK sementara yang sebelumnya telah diverifikasi oleh Assesor Lisensi / Manager Umum - Bapak Nathan dari Lembaga sertifikasi Profesi untuk menentukan apakah layak atau tidak sebagai tempat dalam melaksanakan proses sertifikasi . Angkatan kelima peserta sertifikasi terdiri dari Unsur PNPM Mandiri Perdesaan sebanyak 29 orang yang terdiri dari unsur Fasilitator kecamatan dan Kabupaten, serta 1 orang Fasilitator NGO - LSM Lepmasal.
Proses sertifikasi angkatan kelima di pimpin oleh Nurtaqwa sebagai Lead, disusul Laode Syahrudin Kaeba yang juga merangkap Assesor Kompetensi, Farida hamra, Irnawati amir, surya dharma , serta Hendry souisa sebagai Assesor Kompetensi merangkap Supervisi pelaksanaan proses sertifikasi.
Yang terakhir adalah bagaimana kita memaknai undang undang desa ini sebagai sebuah peluang bagi ruang ruang kreatifitas, ruang pembangunan bagi anak bangsa untuk membantu pemerintah mewujudkan mimpi yang sudah bertahun tahun ingin direalisasikan , mendukung pemerintah desa dalam menjalankan roda pemerintahan dengan berdasarkan prinsip transparansi, desentralisasi, prioritas , keberpihakan kepada orang miskin, akuntanbilitas publik dan yang paling penting adalah keterlibatan perempuan . Dimana diharapkan perempuan perempuan indonesia mampu berkontribusi terhadap ruang bagi pelaksanaan undang undang desa nantinya.
Sebagai masyarakat, tentu kita memiliki kewajiban untuk senantiasa
berkontribusi bagi pembangunan yang memang sedang digalakkan, salah
satunya melalui UU Desa ini. Kita jangan pesimis dengan ikhtiar yang
sudah dilakukan oleh pemerintah maupun DPR. Walaupun nantinya akan
banyak kendala yang dihadapi di lapangan, tidak lantas membuat kita
berhenti untuk terus mewujudkan masyarakat yang adil-makmur serta
berkemajuan. Setiap hambatan tentu memiliki pemecahan masalahnya,
point nya adalah " apakah kita mau berkontribusi untuk
mencari solusi itu. ???
@Kendari , 25 September 2014 - farida hamra - iec rmc vi sulawesi tenggara
|
" proses sertifikasi bersama Askom Hendry souisa " |
|
" Proses sertifikasi bersama Askom farida hamra " |
|
" Proses sertifikasi bersama askom Laode Syahruddin Kaeba " |
|
" proses sertifikasi bersama askom nurtaqwa " |